MEDAN – Indikasi kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) kembali mencuat setelah polemik bangunan tanpa izin di Jalan Asrama Gang Ampera, Kelurahan Sei Sekambing, Kecamatan Medan Helvetia, ramai diperbincangkan publik.
Meski telah diterbitkan surat peringatan hingga surat perintah pembongkaran ketiga oleh instansi teknis, bangunan tersebut tetap berdiri kokoh. Informasi yang dihimpun menyebutkan, pemilik bangunan baru mengajukan permohonan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Namun, karena berkas tidak lengkap, pengajuan dikembalikan oleh dinas terkait. Ironisnya, aktivitas pembangunan tetap berjalan di lapangan.
Agus, orang kepercayaan pemilik bangunan, mengaku tidak mengetahui detail perizinan. “Saya hanya menjalankan tugas mengawasi para pekerja,” ujarnya kepada wartawan.
Sementara itu, Inspektorat Kota Medan melalui Inspektur Pembantu Wilayah I (Irban I), Rini Afriyanti Hasibuan, mengakui pihaknya sudah meminta penjelasan ke dinas terkait. Namun, saat disinggung mengenai dugaan praktik suap, ia enggan berkomentar lebih jauh.
Kondisi ini memunculkan persepsi negatif di masyarakat. Wali Kota Medan, Rico Waas, dinilai lamban dan tidak tegas dalam mengendalikan jajarannya. Lemahnya penegakan aturan dianggap membuka peluang terjadinya praktik kongkalikong yang merugikan PAD Kota Medan.
Pengamat sosial, hukum, dan pembangunan daerah sekaligus dosen sosiologi politik UMSU, Drs. Shohibul Anshor Siregar, SM.i, menilai kasus ini merupakan indikasi kuat kegagalan tata kelola pemerintahan (governance failure) yang dilanggengkan oleh relasi patronase.
“Ketika birokrasi disandera pengaruh kapital swasta, aturan berubah menjadi negosiasi. PAD yang seharusnya menjadi hak publik malah bocor karena ada patron yang dilindungi, dan client yang tunduk karena kepentingan ekonomi atau politik,” tegas Shohibul, Jumat 1 Augustus 2025.
Ia juga menyebut pembiaran bangunan ilegal tersebut sarat dengan indikasi state capture, yakni kondisi ketika keputusan publik dikendalikan oleh kepentingan sempit elit tertentu.
“Dugaan suap dan persetujuan pengunduran eksekusi meski dokumen belum lengkap adalah pola klasik state capture. Aktor negara bukan hanya lalai, tetapi juga terlibat aktif dalam pembajakan regulasi demi keuntungan kelompok tertentu,” pungkasnya. (Yusti Al)
