*Padahal Proyek Pembangunan Lampu Pocong dan Gedung Kejari Medan Masih Bermasalah
MEDAN - Pengamat anggaran Elfanda Ananda mengatakan, hasil audit BPK RI yang memberikan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Pemko Medan sungguh mengherankan. Dimana baru-baru ini ada pekerjaan yang dianggap gagal atau total lost yakni proyek lampu pocong sebesar Rp 25,7 Milyar. Pekerjaan tersebut dianggap gagal setelah dilakukan pemeriksaan oleh inspektorat dan BPK RI.
Pekerjaan itu dianggap gagal setelah Pemko Medan mengeluarkan pembayaran Rp 21 Milyar dari Rp 25,7 Milyar. Dampak untuk pekerjaan yang gagal (total lost) tersebut berakibat pemborong harus memulangkan uang sebesar Rp 21 Milyar. Pekerjaan lampu pocong ini sebelumnya sudah banyak dikritisi oleh masyarakat dari berbagai aspek seperti aspek teknis, tata letak, fungsi dan keuangan.
“Dari sisi lazimnya sebuah pekerjaan tentunya sudah melewati berbagai proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Dari sisi pencairan uang proyek juga pasti sudah melewati tahapan termin pembayaran dan kesesuaian pekerjaan setiap tahap,” kata Elfanda kepada wartawan, Jumat (26 Mei 2023.
Selain proyek lampu pocong ini, kata Elfanda, ada juga pekerjaan pembangunan Gedung Kejaksaan Negeri Medan dengan pagu anggaran sebesar Rp 2,4 Milyar pada jumat, 11 November 2022 rubuh karena pekerjaannya asal jadi. Kasus ini juga cukup mengherankan, kenapa bisa ada pekerjaan di institusi lembaga penegak hukum yakni kejaksaan diam saja. Tidak ada upaya hukum untuk memastikan ada pihak pihak yang berlaku curang sehingga pekerjaan belum digunakan sudah rubuh.
“Untuk kasus pembangunan gedung di Kejaksaan Negeri Medan tidak diketahui penyelesaiannya, hanya ada pernyataan dari pemko Medan minta ganti kerugian dan ada sanksi terhadap pemborong. Sementara dari pihak kejaksaan hanya membuat pernyataan bahwa pekerjaan belum diserah terimakan,” ucap Elfenda.
Terkait hasil audit BPK RI yang memberikan penilain WTP kepada pemko Medan tentunya kata Elfanda akan merugikan institusi BPK RI sendiri. Publik selama ini menilai banyaknya kasus-kasus di daerah yang menerima opini WTP namun terbukti ada daerah yang menerima WTP tersebut terkena kasus korupsi.
“Hasil audit BPK RI di berbagai menurut dia tentu menjadi tanda Tanya publik. Benarkah hasil audit menggambarkan pengelolaan keuangan yang baik. Di satu sisi masyarakat mengetahui ada berbagai permasalahan. Dari sisi hasil audit di Pemko Medan, ada uang yang sudah dikeluarkan dari kas daerah sebesar Rp.21 Milyar untuk sebuah pekerjaan. Ini tercatat dalam laporan arus kas pemko akan termuat dalam laporan hasil audit LHP BPK RI untuk sebuah laporan,” tuturnya.
Biasanya, kata Elfanda, laporan tersebut tidak akan hilang dalam catatan hasil audit. Kalaulah dari catatan adanya proyek gagal dan merugikan keuangan pemerintah daerah. Seharusnya uangnya dapat dimanfaatkan di tahun 2022 lalu, tapi karena gagal proyeknya uang tersebut tidak dimanfaatkan.
“Akhirnya, penilian opini WTP dari BPK RI akan kehilangan wibawa dan membuat rendah akuntabilitasnya dimata publik atas hasil audit tersebut. Seharusnya opini WTP berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Paling tidak, hasil audit sebagai pertanggungjawaban institusi BPK RI dan yang diperiksa yakni Pemko Medan terhadap pajak rakyat. BPK RI harus memberikan penjelasan kepada publik aspek apa saja yang diperiksa dan kenapa poni hasil penilaian bisa WTP walaupun berbagai persoalan terjadi,” tegasnya.
Publik tidak paham kenapa ada permasalahan proyek lampu pocong yang hasil pemeriksaan inspektorat didampingi BPK RI dinyatakan proyek gagal dan runtuhnya pembangunan gedung kejaksaan negeri Medan masih mendapat penilain opini WTP. “BPK RI harus independen, tidak ada istilah segan, siapapun kepala daerahnya,” tuturnya.