![]() |
| Pimred Poskotasumut.id : Lilik Riadi Dalimunthe |
Banjir yang kembali melanda sejumlah kawasan di Kota Medan bukan sekadar persoalan cuaca ekstrem. Ia adalah potret telanjang dari tata kelola anggaran dan manajemen pembangunan yang belum berpihak pada kepentingan warga.
Setiap tahun sejak 2024, Pemerintah Kota Medan telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp1 triliun untuk pembangunan infrastruktur, termasuk proyek drainase dan pengendalian banjir. Nilai yang fantastis untuk sebuah kota yang berulang kali menjerit saat hujan mengguyur. Namun, hasilnya ironis: Medan tetap tergenang.
Komisi IV DPRD Medan, melalui ketuanya Paul Mei Anton Simanjuntak, kini mulai mempertanyakan efektivitas penggunaan dana tersebut. Ia menilai, proyek yang dikerjakan secara masif belum menyentuh akar persoalan. Drainase dibangun, tapi tanpa sistem konektivitas antarsaluran. Sungai dinormalisasi sebagian, tapi hilirnya dibiarkan menyempit oleh tumpukan sedimentasi dan bangunan liar.
Pertanyaan yang menggantung di benak publik kini sederhana:
Ke mana sebenarnya mengalir dana Rp1 triliun itu?
Apakah seluruh proyek pengendalian banjir itu benar-benar selesai sesuai rencana kerja?
Apakah kualitas pekerjaan di lapangan sesuai dengan dokumen kontrak?
Dan, apakah setiap titik pengerjaan memiliki kajian teknis yang matang, atau sekadar formalitas lelang tahunan?
Kritik Paul Mei Anton yang menyinggung lemahnya sumber daya manusia di jajaran aparatur Pemko Medan perlu ditindaklanjuti secara serius. Sebab, pengendalian banjir bukan sekadar urusan membangun parit atau gorong-gorong, tetapi soal perencanaan berbasis data dan keahlian teknis yang terukur.
Kota Medan membutuhkan keberanian politik dan transparansi penuh dalam mengelola anggaran publik. Triliunan rupiah uang rakyat tak boleh berhenti di atas kertas laporan pertanggungjawaban, sementara genangan air terus menelan rumah, jalan, bahkan nyawa warga.
Rapat Komisi IV DPRD Medan yang dijadwalkan bersama OPD teknis pada 20–21 Oktober mendatang harus menjadi momentum klarifikasi terbuka. Inilah saatnya pemerintah kota menjawab, bukan dengan dalih, tapi dengan data dan fakta.
Banjir boleh jadi musibah, tapi jika disebabkan oleh kelalaian dan penyimpangan kebijakan, maka ia sudah menjadi bencana moral dan politik anggaran.
