![]() |
| Pemred Poskotasumut.id Lilik Riadi Dalimunthe |
Inflasi Sumatera Utara (Sumut) yang menembus 5,32 persen (year-on-year) pada September 2025 menjadi peringatan keras bagi pemerintah daerah. Angka ini jauh di atas rata-rata nasional 2,65 persen, menempatkan Sumut sebagai provinsi dengan inflasi tertinggi di Indonesia.
Konteks: Strategi Cepat, Hasil Sementara
Pemprov Sumut melalui Biro Perekonomian mengklaim telah melaksanakan 524 kali gerakan pangan murah dan pasar murah di seluruh kabupaten/kota sepanjang tahun. Langkah ini disebut sebagai respons cepat untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah tekanan harga bahan pokok.
Namun, meski gencar dan masif, hasilnya belum signifikan. Data lapangan menunjukkan harga sejumlah komoditas justru tetap tinggi: cabai merah Rp90 ribu/kg, beras medium Rp16 ribu/kg, dan bawang merah Rp45 ribu/kg. Fakta ini memperlihatkan bahwa frekuensi kegiatan belum otomatis berbanding lurus dengan efektivitas pengendalian harga.
Analisis: Inflasi Sumut Bersifat Struktural
Tingginya inflasi di Sumut bukan semata akibat fluktuasi musiman atau cuaca ekstrem. Pola berulang selama tiga tahun terakhir menunjukkan masalah yang bersifat struktural. Akar persoalannya berada pada tiga titik utama:
-
Distribusi dan tata niaga yang panjang.
Harga komoditas seperti cabai dan beras melejit karena rantai pasok terlalu banyak melibatkan perantara. Petani menjual murah di tingkat produksi, sementara harga melambung di konsumen akhir. -
Minimnya intervensi BUMD pangan.
Peran PT Aneka Industri dan Jasa (AIJ) serta PT Dhirga Surya sebagai penyangga harga belum optimal. Padahal, di daerah lain seperti Jawa Tengah, BUMD pangan justru menjadi instrumen efektif untuk menjaga stabilitas harga dan stok. -
Kebijakan reaktif, belum sistemik.
Operasi pasar, tanam serentak, dan gerakan pangan murah hanya menekan gejolak jangka pendek. Namun tanpa industrialisasi pertanian dan sistem distribusi terintegrasi, dampaknya cepat hilang begitu kegiatan selesai.
Catatan Kebijakan: Perlu Reformasi Ekosistem Pangan
Inflasi pangan tidak akan terkendali hanya dengan kegiatan seremonial. Diperlukan reformasi ekosistem pangan dari hulu ke hilir. Beberapa langkah strategis yang perlu didorong Pemprov Sumut antara lain:
-
Penguatan peran BUMD pangan sebagai price stabilizer dan off-taker hasil pertanian lokal.
-
Pembangunan fasilitas pasca panen seperti Solar Dryer Dome (SDD) untuk mendorong produk olahan (cabe kering, cabe bubuk) agar tidak tergantung pada produk segar.
-
Kebijakan insentif dan punishment dalam Kerja Sama Antar Daerah (KAD) guna menjaga aliran pasokan antar kabupaten/kota tetap seimbang.
-
Digitalisasi distribusi pangan agar data stok dan harga dapat dipantau secara real time oleh Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID).
Inflasi tinggi di Sumut adalah alarm bahwa pendekatan lama sudah tidak memadai. Pemprov perlu berpindah dari strategi reaktif menuju sistem pangan berkelanjutan yang memadukan produksi, distribusi, dan konsumsi secara efisien.
