MEDAN – Pengadilan Tinggi (PT) Medan menjatuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp856,8 miliar kepada Alexander Halim alias Akuang alias Lim Sia Cheng dalam perkara perambahan ratusan hektare lahan negara di kawasan Taman Margasatwa (TM) Karang Gading–Langkat Timur Laut (LTL).
Namun, meski sudah dinyatakan bersalah dan diperintahkan untuk ditahan, terpidana Akuang hingga kini diduga masih bebas berkeliaran.
Vonis tersebut memperkuat putusan Pengadilan Tipikor Medan yang menyatakan Akuang bersama mantan Kepala Desa Tapak Kuda, Imran, bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut.
Keduanya terbukti mengubah lahan negara di kawasan konservasi itu menjadi perkebunan kelapa sawit dengan total luasan mencapai 210 hektare.
Dalam praktiknya, Akuang—yang juga dikenal sebagai pengurus Koperasi Sinar Tani Makmur (STM)—bekerja sama dengan Kades Tapak Kuda, Imran, untuk menerbitkan puluhan Sertifikat Hak Milik (SHM) dari Kantor Pertanahan Langkat, seolah-olah lahan konservasi tersebut merupakan milik pribadi mereka.
Putusan Sudah Jelas, Tapi Terpidana Tak Ditahan
Majelis Hakim PT Medan dalam amar putusannya menyatakan,
“Menjatuhkan pidana penjara selama 10 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar, subsider tiga bulan kurungan. Menghukum terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp856.801.945.550, dan jika tidak membayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, harta bendanya dapat disita dan dilelang. Apabila tidak mencukupi, diganti pidana penjara lima tahun. Memerintahkan terdakwa untuk ditahan.”
Meski demikian, hingga kini Akuang belum dieksekusi. Padahal, berdasarkan putusan penyitaan Pengadilan Tipikor Medan No. 39/SIT/PID.SUS-TPK/2022/PN.MDN tertanggal 14 Oktober 2022, seluruh lahan sawit seluas 210 hektare di kawasan TM Karang Gading–LTL itu telah disita oleh penyidik Kejati Sumut.
Kejati Mengaku Tak Tahu Kondisi Lahan Sitaan
Menanggapi informasi bahwa lahan sitaan itu masih terus dipanen, Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sumut, Mochammad Jeffry, SH., M.Hum., mengaku tidak mengetahui kondisi terkini di lapangan.
“Lahan yang disita itu sudah kami titipkan kepada pihak kehutanan. Setelah dititipkan, kami tidak tahu lagi bagaimana kondisinya,” ujar Jeffry saat dikonfirmasi, Selasa 22 Oktober 2025.
Padahal, mengacu pada KUHAP serta Peraturan Kejaksaan RI Nomor 9 dan 10 Tahun 2019, pengamanan terhadap barang bukti atau lahan yang telah disita masih menjadi tanggung jawab kejaksaan, khususnya bagian PB3R (Pengelolaan Barang Bukti dan Barang Rampasan).
Jeffry mengakui bahwa putusan banding terhadap Akuang sudah keluar melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), namun belum berkekuatan hukum tetap (inkracht).
“Masih ada tenggang waktu untuk mengajukan kasasi. Kalau mereka kasasi, ya belum inkracht, jadi belum bisa dieksekusi,” jelasnya.
Dugaan Panen Sawit oleh Pihak Akuang
Saat ditanya soal informasi dari masyarakat bahwa sawit di lahan sitaan masih terus dipanen oleh pihak Akuang, Jeffry menegaskan bahwa lahan tersebut sudah berada di bawah pengawasan pihak kehutanan.
“Silakan konfirmasi ke pihak kehutanan, karena mereka yang ditugasi mengamankan kawasan itu. Tapi statusnya tetap disita oleh Kejatisu,” katanya.
Menurut informasi di lapangan, hasil panen sawit dari lahan tersebut bisa mencapai Rp10 miliar per bulan. Saat angka ini disebutkan, Jeffry hanya berkomentar singkat,
“Oh, segitu ya besar juga. Kami akan cek kembali.”
Aspidsus menambahkan, setelah seluruh proses hukum selesai dan putusan inkracht, maka hasil sitaan berupa perkebunan sawit akan diserahkan kepada negara melalui PT Agrinas Palma Nusantara sebagai penerima aset sitaan.
Lahan Konservasi yang Disulap Jadi Perkebunan
Kawasan Taman Margasatwa Karang Gading–Langkat Timur Laut merupakan wilayah konservasi penting di Sumatera Utara yang berfungsi sebagai penyangga ekosistem pesisir dan habitat satwa langka, termasuk burung air dan mamalia rawa.
Namun, sebagian kawasan ini kini berubah menjadi hamparan kebun sawit akibat aktivitas perambahan yang dilakukan Akuang cs sejak dua dekade lalu.
Kasus ini menjadi sorotan karena muncul di tengah komitmen Presiden Prabowo Subianto dan Jaksa Agung Burhanuddin dalam memberantas korupsi dan penyelamatan aset negara.
Ironisnya, terpidana dengan denda fantastis Rp856 miliar itu masih dapat menikmati udara bebas, sementara hasil panen sawit dari lahan negara terus mengalir.
