Seri ke-100 ini, meski sebenarnya sudah lebih jika menghitung seri-seri lanjutan, saya gunakan untuk kembali mengajukan satu pertanyaan penting:
Apakah Prabowo berutang budi kepada Jokowi?
Narasi yang belakangan menguat adalah bahwa Jokowi-lah yang membuat Prabowo menjadi presiden. Bahkan, dalam kepanikan yang terlihat dari pernyataan Luhut Panjaitan, muncul sindiran bahwa Prabowo harus “ingat jasa”.
Pernyataan itu dibalas Prabowo dengan satir yang keras: soal prajurit yang enggan dipimpin atasan “maling”, “kapal keruk”, hingga kritik tentang “pemerintahan di dalam pemerintahan”. Satir tajam itu jelas bukan tanpa alamat.
Di titik ini, pertarungan simbolik antara apa yang saya sebut “Kuda Troya” dan “Kuda Kepang” sudah memasuki fase baru. Bila sebelumnya operasi berlangsung dalam senyap ala Sandi Yudha, kini mulai tampak sebagai adu taktik ala pasukan para komando. Masih sindiran, tetapi terang, frontal, dan panas.
“Sendok Komposit” dan Bubur Panas Kekuasaan
Ibarat orang memakan bubur panas, Presiden Jokowi masih berhati-hati. Prabowo sebaliknya sudah mulai menyendok bagian tengah: panas, tapi disikat. Dan ia tampaknya sudah menemukan “sendok komposit”, kuat, tahan panas, dan efektif.
Dalam hal ini, banyak yang melihat** Purbaya** sebagai figur kunci. Kritik, pembongkaran, dan koreksi keras muncul terhadap praktik kekuasaan selama satu dekade terakhir. Reaksi paling emosional justru datang dari Luhut: sampai mengeluarkan ancaman terbuka kepada siapa pun yang dianggap mengganggunya.
Padahal, Luhut semestinya mengingat tiga hal:
-
Ia bukan lagi TNI aktif
-
Presiden kini Prabowo, bukan Jokowi
-
Tidak semua orang dalam jejaringnya mau menjadi “tumbal”
Prabowo memang sering disebut sebagai jenderal berotak Rambo, berhati Rinto. Tetapi kelembutannya jelas bukan untuk para “jenderal kapal keruk”.
Operasi Sandi Yudha ala 08
Sejak awal saya berpendapat: Prabowo tidak masuk kabinet sebagai koalisi, melainkan sebagai operasi penyusupan politik. Ini saya tulis lama sebelum Pilpres (seri 13, 10 November 2022).
Kini konsep itu bahkan diakui Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo:
Prabowo melakukan operasi ala Kopassus.
Hasilnya?
Prabowo berhasil menjadi Presiden bukan karena “didorong” Jokowi, tetapi karena ia mengalahkan sistem dari dalam. Yang merasa punya jasa hari ini, lupa bahwa dinamika politik membuat skenario berubah di menit akhir. Jokowi sendiri awalnya bukan menjagokan Prabowo — semua orang masih ingat narasi “rambut putih”.
Tetapi setelah skenario runtuh, pilihan pun berubah.
Jejak Lama Konflik Elite
Hubungan Prabowo dan Luhut bukan sekadar politik lima tahun. Ini perjalanan panjang sejak era Orde Baru. Ada sejarah operasi intelijen yang bocor, batalnya skenario suksesi, dan saling baca strategi antara dua tradisi militer berbeda.
Singkatnya: simbiosis mereka adalah simbiosis semu.
Kesimpulan
Bagi saya jelas:
Prabowo tidak berutang budi kepada Jokowi.
Yang terjadi justru sebaliknya — Prabowo masuk, membaca, menunggu, dan pada saatnya, mengambil kendali.
Kini, ketika “bubur hangat” kekuasaan tengah disantap, setiap gangguan akan mempercepat proses. Kritik terhadap 10 tahun pemerintahan Jokowi makin lantang di ruang publik, terutama terkait jaringan bisnis dan operasi politik di balik layar.
Di fase ini, yang paling bijak bagi siapapun di lingkar kekuasaan lama adalah mundur dengan elegan, bukan mengancam atau menantang badai.
Game changer sedang berjalan. Game over tinggal menunggu waktu.
Saya hanya menyampaikan analisis.
Selebihnya, silakan pembaca menilai.
