MEDAN – Penanganan bencana banjir dan longsor dahsyat yang disertai hanyutnya gelondongan kayu besar pada 25 November 2025 di tiga provinsi di Sumatera—Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—dinilai belum maksimal. Bahkan, sejumlah kepala daerah di wilayah terdampak secara terbuka menyatakan ketidaksanggupan menangani dampak bencana tersebut secara mandiri.
Berdasarkan data terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 20 Desember 2025, bencana ini telah menyebabkan 1.090 orang meninggal dunia, 186 orang hilang, sekitar 7.000 orang luka-luka, serta 147.236 unit rumah rusak berat atau terendam lumpur, di samping kerusakan serius pada berbagai infrastruktur publik.
Namun hingga kini, Presiden RI Prabowo Subianto belum menetapkan bencana di Sumatera tersebut sebagai Bencana Nasional, serta menolak dukungan dan bantuan dari komunitas internasional. Sikap ini memicu kekecewaan dan tanda tanya besar di tengah publik, khususnya warga yang terdampak langsung.
Menyikapi kondisi tersebut, sejumlah akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Sumatera Utara menggelar konferensi pers di Kantor LBH Medan, Senin (22/12/2025), dan mendesak pemerintah pusat segera mengambil langkah tegas.
Suara Akademisi
Dekan Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Dr. Azmiati Zuliah, SH, MH, menegaskan bahwa skala korban yang begitu besar menunjukkan persoalan kemanusiaan serius yang tak bisa diabaikan negara.
“Bencana yang terjadi di Sumatera sudah banyak memakan korban, termasuk perempuan dan anak-anak. Pemerintah pusat harus memiliki sikap tegas. Mengapa bencana nasional belum juga ditetapkan? Ini persoalan kemanusiaan,” ujarnya.
“Terlebih lagi terkait penolakan bantuan internasional, ada apa dengan semua ini?” tambahnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Medan Area, Dr. Muhammad Citra Ramadhan, SH, MH, menilai negara secara normatif dan konstitusional wajib hadir, terlebih ketika pemerintah daerah mengakui keterbatasannya.
“Dampak bencana ini sangat luas, baik secara materiil maupun konstitusional terhadap masyarakat. Negara harus hadir, apalagi melihat ketidakmampuan pemerintah daerah dalam menangani kerusakan dan dampak pascabencana,” tegasnya.
“Karena itu, pemerintah harus segera menetapkan Bencana Sumatera sebagai bencana nasional.”
Pandangan serupa disampaikan Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Dr. Panca Sarjana Putra, SH, MH. Ia menekankan bahwa secara hukum, bencana ini telah memenuhi syarat sebagai bencana nasional.
“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, peristiwa di Sumatera ini sudah memenuhi unsur untuk ditetapkan sebagai bencana nasional,” katanya.
Ia juga menyoroti dampak ekonomi masyarakat yang hancur serta proses rehabilitasi yang belum berjalan optimal. “Kami sangat prihatin karena hingga saat ini masyarakat terdampak masih menderita.”
Lebih lanjut, Dr. Panca mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut dugaan kejahatan lingkungan yang menjadi penyebab bencana.
“Pengrusakan lingkungan harus diproses sebagai kejahatan lingkungan, bukan sekadar tindak pidana korupsi. Jika hanya dijerat korupsi, pelaku bisa lolos dari hukuman berat cukup dengan mengganti kerugian negara,” tegasnya.
Desakan kepada Pemerintah
Para akademisi menilai negara memiliki kewajiban konstitusional untuk hadir lebih kuat dan nyata dalam menjamin keselamatan serta pemulihan warga terdampak di tiga provinsi tersebut. Respons negara tidak boleh berhenti pada bantuan darurat semata, melainkan harus mencakup kebijakan yang berpihak pada korban, penguatan koordinasi lintas kementerian dan pemerintah daerah, serta penyediaan sumber daya yang memadai untuk rehabilitasi dan rekonstruksi.
Mereka juga mengingatkan bahwa bencana ini merupakan peringatan serius atas krisis lingkungan dan kegagalan mitigasi bencana yang berulang di Sumatera. Tanpa langkah tegas dari pemerintah pusat, risiko korban lanjutan dan kerentanan sosial akan terus meningkat.
Untuk itu, para akademisi mendesak:
Pemerintah pusat segera menetapkan bencana di Sumatera sebagai Bencana Nasional.
Pemerintah membuka akses dan mengizinkan bantuan internasional bagi korban bencana.
Mempercepat proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di seluruh wilayah terdampak.
Mengusut tuntas dan menghukum tegas pelaku perusakan lingkungan yang menjadi penyebab bencana.
