Dr.Eriko Silaban, M.Pd Putra Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara merupakan anak petani Kemenyan mendorong komoditas Haminjon atau Kemenyan, Andaliman, dan Kapur Barus yang hanya tumbuh di wilayah di kawasan danau toba menjadi komoditas yang dilindungi oleh Negara.
Menurutnya, Komoditas ini masih mengalami permasalahan, mulai dari tata kelola petani, lahan pertanian, perdagangan, perlindungan, tata kelola budidaya dan lainnya, hingga kini belum pernah mendapatkan sentuhan serius dari pemerintah untuk melestarikan atau melindunginya, pohon kapur barus tidak punah, lahan dan budi daya petani hingga perdagangan kemenyan dan andaliman tertata dengan baik sebagai upaya pembangunan daerah.
Pembangunan daerah khususnya Kawasan danau toba akan semakin berkembang apabila komoditas khas tersebut dilindungi oleh negara. Apalagi komoditas ini sudah dijual baik dipasar dalam negeri maupun internasional.
Namun tanpa dukungan dan regulasi yang jelas menimbulkan pasar ekspor gelap sehingga pengelolaan dan produksinya tidak tertata baik, membuat jumlah masyarakat khususnya petani yang fokus terhadap tanaman itu kini semakin sedikit dan ini tidak bisa terus dibiarkan sehingga harus segera mendapatkan perlindungan dan regulasi yang jelas kedepannya.
Kemenyan/Haminjon
Komoditas pertanian khas di Kawasan Danau Toba, Sumut selama berabad-abad menjadi sumber pendapatan masyarakat local. Namun, hingga saat ini pemasarannya masih dikuasai apa agen lokal atau biasa dengan naka sebutan tengkulak atau orang orang pengusaha lokal yang dapat mengendalikan harga dipasaran sesuai keinginan mereka sendiri
Pedagang memiliki kendali kuat atas harga dan distribusi haminjon itu membuat petani haminjon atau menyan tak punya pilihan selain menerima harga yang sudah ditentukan oleh penampugan. Harga kemenyan sendiri dulunya pernah setara dengan harga emas. Namun saat ini harganya turun dan cenderung tidak stabil yaitu untuk harga tertingginya berkisar Rp300.000 dan terendah Rp80.000 per kilonya.
Haminjon atau menyan diketahui memiliki nilai yang sangat tinggi di pasar internasional. Getah kemenyan mengandung senyawa benzoit merupakan bahan baku industri laroma, obat, kosmetik, farmasi, insektisida alami, hingga pengawet makanan dan minuman.
Getah ini di pasar internasional dihargai mencapai USD 500 per kilogram nya atau jika di rupiahkan sekitar Rp8 jutan seusai kurs rupiah Rp16.000.
Tahun 2018 luas tanaman kemenyan di Sumut adalah 23.068 Ha dengan produksi getah sebanyak 8.332 ton, dengan potensi pasar yang dapat diraih dengan produksi tersebut mencapai Rp.2,08 Triliun per tahun. Itu baru dihitung rata-rata harga kemenyan di tingkat lokal saja Rp.250.000/kg, dengan produksi getah 8.332 ton, maka nilai perdagangan Kemenyan yang diraih bisa mencapai Rp.2,08 Triliun per tahun, ini nilai yang sangat besar yang sangat ekonomis. Rp2,8 Triliun itu hanya dihitung dari nilai tingkat petani. Bukan harga ekspornya.
(sumber: Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan /BP2LHK Aek Nauli, Sumut).
Meskipun harga kemenyan di pasar internasional tidak pernah turun, cenderung tinggi dan stabil, akan tetapi harga di tingkat petani cenderung terlalu rendah. Harga kemenyan di pasar internasional dengan harga di tingkat petani memang selisihnya sangat jauh, disebabkan oleh lemahnya tata niaga dan rendahnya produktivitas kemenyan, terbatasnya akses informasi pasar maupun teknologi, kelembagaan petani dengan jalinan kemitraan sangat lemah, dan juga mata rantai perdagangan terlalu panjang.
Eriko Silaban, Pakar pembangunan daerah Alumni Doktoral IPDN ini mengatakan di Humbahas, perdagangan Haminjon dikuasai tengkulak, dari petani diambil oleh tengkulak atau toke Haminjon, lalu dijual ke Toke di Kota Kabupaten di Doloksanggul, selanjutnya dibeli oleh Toke dari Medan dan Jakarta.
Selanjutnya Haminjon dikirim pabrik ke Jakarta atau Semarang, untuk selanjutnya baru diekspor. Sangat panjang. Namun, tidak jelasnya tata niaga membuat harga komoditas ini menjadi sangat rendah. Haminjon belum pernah mendapatkan sentuhan dari pemerintah agar produktifitas dan kejelasan pasarnya tertata dengan baik.
Saat ini haminjon masuk dalam komoditas sembarang. Karena masuk dalam komoditas sembarang, harganya pun tidak jelas, gelap. Transparansi harga merupakan faktor penting. Karena itu, komoditas pertanian yang khas semacam Haminjon ini perlu menjadi satu komoditas khusus sehingga perlu perlindungan dari negara.
Andaliman/Merica Batak.
Komoditi khas masyarakat suku Batak yang hanya tumbuh di kawasan danau toba, Sumatera Utara ini merupakan bumbu istimewa bagi kuliner masyarakat Batak. Penggunaan andaliman diperkirakan sudah ada sejak ratusan tahun lalu, sejak masa kerajaan. Bumbu ini menjadi simbol dari kekayaan rempah-rempah yang dimiliki oleh suku Batak, yang dikenal memiliki tradisi kuliner kaya akan cita rasa tajam dan pedas serta sensasi yang mengejutkan.
Dalam berbagai cerita tradisional, andaliman disebut-sebut sebagai bumbu yang digunakan untuk memuliakan tamu atau pada upacara adat tertentu, seperti pesta pernikahan atau ritual lainnya. Andaliman tidak hanya berfungsi sebagai penyedap rasa, tetapi juga sebagai penambah kehormatan dan kelengkapan pada hidangan yang disajikan.
Seiring waktu, keunikan dan kelezatannya mulai menarik perhatian masyarakat luas. Pada abad ke-20, setelah Indonesia merdeka, andaliman mulai mendapat perhatian dari para peneliti dan pecinta kuliner dari luar daerah Batak, bahkan ke mancanegara.
Upaya untuk memperkenalkan andaliman ke pasar global semakin meningkat, terutama karena pengaruh globalisasi dan permintaan terhadap masakan otentik Indonesia yang semakin populer. Keberadaannya kini semakin dikenal sebagai bagian dari kekayaan kuliner Nusantara yang patut dilestarikan dan dilindungi.
Andaliman memiliki ciri khas rasa pedas yang tidak hanya memberikan sensasi panas, tetapi juga sedikit rasa kebiruan atau keasaman yang unik. Buah andaliman yang berbentuk kecil dan berwarna hijau atau merah ini, biasanya diolah dengan cara digiling halus atau ditumbuk bersama cabai, bawang, atau jahe, untuk menciptakan bumbu yang kaya akan rasa.
Tidak hanya itu, andaliman juga berfungsi sebagai pengawet alami dalam makanan, karena kemampuannya untuk menghambat pertumbuhan bakteri, memiliki manfaat kesehatan, meningkatkan nafsu makan, memperlancar pencernaan. Kini mulai dikenal lebih luas, bahkan dijadikan sebagai bahan tambahan dalam produk olahan lain seperti saus sambal atau makanan ringan di dalam dan luar negeri.
Kapur Barus.
Barus, merupakan salah satu daerah yang letaknya di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Berbentuk seperti mutiara yang terpendam. Selain karena sejarahnya yang panjang, tentu saja pesona alamnya yang indah terdapat Kapur Barus yang memiliki sejarah sebagai Bahan Pengawet Mumi atau Jenazah dan dikenal oleh negara timur tengah khususnya pada zaman Mesir kuno sejak abad ke 7-16 masehi.
Masyarakat di sana menggunakan kapur barus untuk berbagai keperluan terutama sebagai pengaharum alami dan dipakai untuk mengawetkan jenazah atau mumi.
Pedagang tersebut menganggap kapur barus dari Indonesia khususnya Sumatera punya kualitas yang paling bagus didunia. Raja-raja Mesir pun mengincar kapur barus asli Nusantara, sehingga konon Mumi Ramses II dan Ramses III diawetkan dengan cara dibalsem menggunakan kapur barus yang dicampur rempah-rempah lainnya.
Kapur barus memiliki aroma tajam dan menyengat memiliki sejarah panjang dalam budaya Tapanuli Tengah bahkan dunia karena berasal dari getah pohon dan itu hanya tumbuh di Sumatera Utara.
Pohon ini menghasilkan kristal kapur barus, digunakan sebagai pengawet, penyegar udara, atau obat tradisional, antiseptic, anti-jamur, obat salep atau balsem untuk mengatasi nyeri otot atau sakit kepala dan lainnya.
Kapur barus menjadi komoditas perdagangan yang bernilai tinggi, bahkan tercatat dalam sejarah sebagai salah satu barang yang diperdagangkan di Jalur Sutra antara Asia dan Eropa. Di masa lalu, keberadaannya yang terbatas dan aroma khasnya menjadikannya simbol kemewahan dan keunikan.
Saat ini, kapur barus dijual berbentuk kristal dan ada yang dihaluskan dengan berbagai bentuk, ukuran, warna dan aroma. Kapur barus berasal dari pohon kamper atau nama ilmiahnya Dryobalanops aromatica. Getah dari pohon itulah yang kini disebut kapur barus. Sebutan kapur barus sendiri mengaju pada kata Barus, daerah penghasil kamper di pesisir barat Sumatera.
Sayangnya kini pohon kamper sulit dijumpai, di daerah Barus sendiri dikarenakan pohonjya sudah banyak ditebang. Berdasarkan data dari International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) menyebutkan status pohon kapur barus ini masuk kategori daftar merah, yaitu keberadaannya kritis atau terancam punah.
IUCN merupakan lembaga konservasi keanekaragaman hayati. Untuk itu perlu perlindungan dari Negara dalam melestarikan pohon kapur barus ini agar tidak punah.