MEDAN – Proyek pembangunan floodway Sikambing–Belawan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kembali menjadi sorotan. Kalangan aktivis pemerhati korupsi di Sumatera Utara mendesak aparat penegak hukum (APH) turun tangan menyelidiki potensi kerugian negara dalam proyek yang digadang-gadang mampu mengatasi banjir di kawasan Medan bagian utara itu.
Fakta-fakta yang muncul ke permukaan tidak sedikit: mulai dari proses tender, waktu pengerjaan, hingga urusan ganti rugi lahan kepada warga yang terdampak.
Tender Menyisakan Tanda Tanya
Pemerhati anti korupsi Sumut, Andi Nasution, menilai perlu ada audit menyeluruh terhadap proyek tersebut. Salah satu yang menjadi perhatian adalah harga penawaran dari PT Runggu Prima Jaya (RPJ) selaku pemenang tender.
“Harga penawaran PT RPJ turun drastis hingga Rp65,59 miliar dari HPS Rp81,98 miliar. Selisihnya lebih dari Rp16,3 miliar atau sekitar 19,9 persen. Ini perlu dicermati secara khusus,” ujar Andi, Rabu (29/10/2025).
Menurutnya, meski penurunan harga dalam tender adalah hal yang wajar, tetapi penawaran yang terlalu rendah sering kali menjadi celah bagi praktik manipulasi anggaran di lapangan.
“Biasanya, penawaran rendah diikuti dengan modus adendum kontrak berulang. Bisa berupa pengurangan volume pekerjaan atau perubahan spesifikasi yang akhirnya menurunkan kualitas bangunan,” jelasnya.
Keterlambatan dan Masalah Lahan
Selain tender, keterlambatan pekerjaan juga menjadi catatan. Andi menyebut, proyek floodway itu sudah molor beberapa bulan dari jadwal awal.
“Kasatker SNVT PJA BBWS Sumatera II, Hermawan, pernah menyampaikan bahwa keterlambatan disebabkan masalah pembebasan lahan,” ucapnya.
Dari penelusuran laman LPSE Pemko Medan, pada Tahun Anggaran 2024, Dinas Perkim Cikataru tercatat menganggarkan Rp56,5 miliar untuk pengadaan tanah. Bahkan pada 12 Juni 2024, digelar rapat pembahasan pembebasan lahan yang dipimpin Sekretaris Dinas Perkim, Melvi Marlabayana, dan dihadiri Kepala BBWS Sumatera II, Bappeda Medan, Bapenda, Kabag Hukum, camat dan lurah setempat, serta pihak KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik).
“Pertanyaannya, bagaimana realisasi anggaran Rp56,5 miliar itu? Berapa besar yang benar-benar sampai ke tangan warga yang lahannya terdampak?” tegas Andi.
Desakan untuk Penegak Hukum
Andi menilai, aroma dugaan penyimpangan dalam proyek ini sudah terlalu kuat untuk diabaikan. Ia mendorong aparat penegak hukum segera memeriksa pihak-pihak yang terkait dalam proses pelaksanaan proyek, terutama di lingkup Dinas Perkim saat itu.
“Segera periksa semua yang terlibat, termasuk Melvi Marlabayana saat menjabat sekretaris dinas dan Alexander Sinulingga sebagai kepala dinas. Publik berhak tahu ke mana aliran anggaran itu sebenarnya,” ujarnya.
Menurut Andi, proyek yang sejatinya bertujuan melindungi masyarakat dari banjir, jangan sampai justru menjadi ladang pemborosan dan potensi korupsi yang menambah beban negara.
Proyek floodway Sikambing–Belawan sejatinya diharapkan menjadi solusi jangka panjang mengatasi banjir di Medan bagian utara. Namun di tengah janji pembangunan itu, kini muncul pertanyaan besar tentang transparansi, integritas, dan akuntabilitas pengelolaan anggarannya.
Karena sebagaimana diingatkan Andi Nasution, “Pembangunan tanpa kejujuran, hanya akan menciptakan banjir baru, banjir kecurigaan dan ketidakpercayaan publik.”
