Oleh: Redaksi
MEDAN – Sebuah putusan penting dari Pengadilan Tinggi Sumatera Utara menggugah kembali wacana keadilan dalam perkara dugaan korupsi kredit di Bank Sumut Cabang Serdang Bedagai. Melalui putusan Nomor 22/PID.SUS-TPK/2025/PT MDN yang dibacakan 28 April 2025, majelis hakim menyatakan terdakwa Selamet terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan, namun tidak termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi.
Putusan itu membatalkan vonis Pengadilan Tipikor Medan sebelumnya dan secara tegas memerintahkan agar Selamet dibebaskan serta dipulihkan hak-haknya secara hukum dan sosial. Namun publik bertanya-tanya: mengapa dua terdakwa lainnya, Tengku Ade Maulanza dan Zainur Rusdi, hingga kini masih menjalani proses hukum dalam kasus yang sama?
"Kalau debiturnya dibebaskan karena dinilai bukan pidana, kenapa pejabat bank tetap dihukum? Ini jelas tidak adil," ujar Aji Lingga, SH, praktisi hukum di Medan.
Prosedur Kredit, Bukan Kejahatan
Majelis hakim menilai bahwa kesalahan prosedur administratif dalam proses pengajuan kredit tidak serta-merta masuk ranah pidana. Hal ini berlaku apalagi bila tidak ditemukan niat jahat (mens rea) maupun kerugian negara secara nyata.
Menurut banyak pengamat hukum, persoalan seperti ini seharusnya diselesaikan melalui jalur keperdataan, bukan pidana. Apalagi dalam kasus ini, pengajuan kredit telah dilengkapi agunan sah yang bahkan nilainya lebih tinggi dari kredit yang disalurkan.
“Jika ini tidak disikapi secara arif, masyarakat akan takut meminjam uang ke bank. Padahal mereka sudah memberikan agunan sah, tapi tetap berisiko pidana jika terjadi kredit macet,” ujar Aji, yang juga seorang advokat.
Ancaman bagi Dunia Perbankan
Kekhawatiran muncul di kalangan profesional perbankan. Jika kredit bermasalah langsung dikriminalisasi, banyak pejabat bank akan memilih sikap pasif dan tidak berani menyalurkan kredit.
"Kalau ini jadi preseden hukum, maka fungsi intermediasi perbankan akan lumpuh. Pejabat bank akan gamang dalam mengambil keputusan kredit, bahkan untuk usaha produktif," imbuh Aji Lingga.
Padahal, salah satu motor penggerak perekonomian nasional adalah kelancaran penyaluran kredit. Bila pejabat bank selalu dihantui ketakutan pidana, maka sektor riil pun akan ikut tersendat.
Keadilan Tidak Boleh Terpecah
Kini, dukungan moral untuk Tengku Ade dan Zainur terus menguat. Sejumlah tokoh perbankan, akademisi, hingga praktisi hukum mendorong agar putusan Selamet dijadikan yurisprudensi dalam penanganan dua terdakwa lain.
"Kalau nasabah dibebaskan karena ini perkara perdata, maka pejabat bank juga seharusnya bebas. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas," kata seorang praktisi hukum senior yang mengikuti kasus ini sejak awal.
Agenda Sidang dan Harapan Publik
Sidang terhadap Tengku Ade dan Zainur dijadwalkan kembali digelar pekan depan dengan agenda pembacaan nota pembelaan (pledoi). Masyarakat hukum menanti apakah majelis hakim akan konsisten dengan asas keadilan yang telah ditegaskan melalui putusan Selamet.
Jika tidak ada perbedaan esensial dalam struktur kasus, maka seharusnya keduanya juga dibebaskan dari segala dakwaan pidana. Karena membedakan penanganan hukum untuk kasus serupa hanya akan memperburuk citra penegakan hukum itu sendiri.
Kesimpulan Redaksi
Redaksi menilai, penegakan hukum harus dilakukan secara konsisten, berimbang, dan menjunjung tinggi keadilan substantif. Jika MA telah memutus bahwa pelanggaran prosedur kredit bukan tindak pidana, maka semua pihak dalam kasus yang sama harus mendapat perlakuan hukum yang setara.
Jangan sampai kepercayaan publik pada lembaga peradilan tergadaikan oleh penanganan hukum yang tidak proporsional. Keadilan yang sesungguhnya bukan hanya soal vonis, tetapi soal keberanian untuk berlaku adil terhadap siapa pun, tanpa memandang jabatan atau status. (LR)