Gedung Pengadilan Tinggi Medan
MEDAN – Pengadilan Tinggi Sumatera Utara membebaskan Selamet, terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pengajuan kredit di Bank Sumut Cabang Serdang Bedagai. Dalam putusan Nomor 22/PID.SUS-TPK/2025/PT MDN yang dibacakan pada 28 April 2025, majelis hakim menyatakan bahwa perbuatan terdakwa memang terbukti, namun tidak termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi.
Putusan ini sekaligus membatalkan vonis sebelumnya dari Pengadilan Tipikor Medan (Nomor 1/Pid.Sus-TPK/2025/PN Mdn) dan menetapkan hal-hal sebagai berikut:
-
Membatalkan putusan Pengadilan Tipikor Medan;
-
Menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan, namun bukan merupakan tindak pidana;
-
Melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum;
-
Memulihkan hak-hak terdakwa dalam hal kedudukan, kemampuan, dan harkat serta martabatnya;
-
Memerintahkan agar terdakwa segera dibebaskan setelah putusan dibacakan.
Selamet sebelumnya telah ditahan sejak 9 Desember 2024 hingga awal Mei 2025. Dengan keluarnya putusan inkrah ini, publik berharap agar terdakwa lain dalam kasus serupa, yakni Tengku Ade Maulanza dan Zainur Rusdi, juga dibebaskan.
“Kalau debiturnya dibebaskan karena dinilai bukan tindak pidana, lalu mengapa pejabat bank tetap dihukum? Ini tidak masuk akal dan sangat tidak adil,” ujar pemerhati hukum Aji Lingga, SH, di Medan, Senin 21 Juli 2025.
Bukan Tindak Pidana, Tidak Penuhi Unsur Korupsi
Putusan MA menegaskan bahwa pelanggaran prosedur administratif dalam proses pengajuan kredit tidak serta-merta dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Hal ini berlaku terutama jika tidak ditemukan niat jahat (mens rea) atau kerugian negara yang nyata.
Menurut Aji, penyelesaian kredit bermasalah semestinya dilakukan melalui jalur keperdataan, seperti eksekusi agunan, bukan jalur pidana.
“Keputusan pemberian kredit saat itu dilakukan sesuai prosedur, disertai agunan yang sah. Jadi seharusnya tidak masuk ranah pidana. Kalau ini tidak disikapi secara bijak, masyarakat bisa menjadi takut meminjam uang ke bank. Sebab, jika terjadi masalah, mereka akan berisiko dijerat pidana, padahal nasabah sudah menyerahkan agunan yang nilainya lebih besar dari pinjamannya,” tegas Aji, yang juga seorang pengacara.
Kekhawatiran Akan Preseden Buruk
Kasus ini juga memicu kekhawatiran di kalangan perbankan. Para profesional khawatir, jika kredit bermasalah bisa langsung dijerat secara pidana, maka pejabat bank akan kehilangan keberanian dalam mengambil keputusan kredit.
“Jika ini menjadi preseden, banyak pejabat bank akan enggan menyalurkan kredit, dan ini akan menghambat fungsi intermediasi perbankan,” katanya.
Dukungan moral terhadap Tengku Ade pun terus mengalir. Sejumlah rekan sejawatnya bahkan berencana menggelar audiensi dengan tokoh-tokoh daerah untuk menyuarakan tuntutan keadilan.
Asas Keadilan dan Putusan Sebelumnya
Putusan yang membebaskan pihak debitur menjadi rujukan kuat bagi para pendukung Tengku Ade dan Zainur Rusdi. Mereka mendesak agar asas keadilan ditegakkan secara setara.
“Jika nasabah dinyatakan bebas karena perkara ini dianggap perdata, maka pejabat bank yang memproses kredit tersebut juga seharusnya dibebaskan. Jangan sampai hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” ujar seorang praktisi hukum yang mengikuti jalannya persidangan.
Sidang terhadap Tengku Ade dan Zainur dijadwalkan akan berlanjut pekan depan, dengan agenda pembacaan nota pembelaan (pledoi).