By : Lilik Riadi Dalimunthe
MEDAN – Pernyataan singkat Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, Kamis malam 25 September 2025, di Gedung Merah Putih Jakarta, langsung memicu spekulasi publik. Ia menegaskan bahwa pemanggilan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution masih menunggu pembahasan dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menangani perkara dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumut.
“Saudara Bobby Nasution, kapan dilakukan pemanggilan? Ini kita tunggu (JPU) pulang dulu…,” ujar Asep, sembari menekankan bahwa materi pemeriksaan akan didiskusikan secara internal agar tidak berlarut-larut.
Korupsi Jalan Rp231,8 Miliar
Kasus yang kini menyeret lima pejabat dan kontraktor ini bermula dari proyek pembangunan jalan senilai Rp231,8 miliar. Angka fantastis itu dikucurkan untuk memperbaiki ruas vital di Sumut, namun dalam praktiknya ditemukan penyimpangan serius.
KPK telah menetapkan lima tersangka pada 28 Juni 2025 lalu diantaranya, Topan Obaja Putra Ginting (TOP) – Kepala Dinas PUPR Sumut, Rasuli Efendi Siregar (RES) – Kepala UPTD Gunung Tua sekaligus PPK, Heliyanto (HEL) – PPK Satker PJN Wilayah I Sumut, M. Akhirun Efendi Siregar (KIR) – Dirut PT DNG, M. Rayhan Dulasmi Pilang (RAY) – Dirut PT RN.
Dari posisi para tersangka, terlihat pola klasik: kolaborasi birokrasi–kontraktor dalam pengaturan proyek. Namun yang membuat kasus ini berbeda adalah munculnya nama Gubernur Sumut, Bobby Nasution, di lingkar sorotan publik.
Relasi Kekuasaan dan Lingkaran Dekat
Sorotan itu menguat karena Topan Obaja Putra Ginting, Kadis PUPR Sumut sekaligus tersangka utama, dikenal sebagai pejabat dekat Bobby. Kedekatan personal–politik inilah yang membuat publik mempertanyakan sejauh mana keterlibatan atau pengetahuan sang gubernur.
Secara hukum, Bobby belum berstatus tersangka, bahkan belum resmi dipanggil sebagai saksi. Namun, dalam politik lokal, persepsi publik sering lebih cepat bergerak daripada fakta hukum. Relasi dekat dengan pejabat yang ditangkap KPK sudah cukup menimbulkan tekanan.
Strategi Hukum KPK
Mengapa pemanggilan Bobby ditunda? Ada dua alasan utama. Pertama, KPK tidak ingin mengambil langkah prematur. Posisi gubernur yang juga menantu Presiden membuat kasus ini sarat dengan implikasi politik. Kedua, JPU KPK di Medan masih merampungkan materi persidangan dan perlu memastikan dasar pemeriksaan kokoh.
Dalam praktik KPK, kepala daerah kerap baru diperiksa setelah ada penguatan bukti dari anak buah atau rekanan. Pola ini pernah terlihat dalam kasus-kasus sebelumnya, di mana pejabat level teknis dijerat lebih dulu, sebelum akhirnya menyeret kepala daerah.
Resonansi Publik dan Politik
Kasus ini jelas mengguncang dinamika politik Sumut. Bobby, yang sejak awal menjabat membawa slogan “bersih dan profesional”, kini dihadapkan pada ujian terbesar. Aktivis antikorupsi di Medan menilai, walau belum terseret hukum, gubernur tetap punya tanggung jawab moral atas kinerja anak buahnya.
Lebih luas lagi, kasus ini berpotensi memengaruhi citra politik keluarga Presiden. Bobby bukan sekadar gubernur muda, tetapi juga bagian dari lingkaran politik nasional menuju 2029. Sorotan publik terhadap kasus Sumut bisa menjadi bola liar dalam kalkulasi elektoral.
Dua Skenario ke Depan
Skenario ringan: Bobby hanya dipanggil sebagai saksi, lalu kasus berhenti di level pejabat teknis dan kontraktor. Dampak politik ada, tapi terbatas.
Skenario berat: KPK menemukan bukti kuat aliran dana atau peran aktif, sehingga Bobby diperiksa intensif. Jika terjadi, ini bisa mengubah peta politik tidak hanya di Sumut, tapi juga nasional.
Penutup
Pada akhirnya, kasus korupsi proyek jalan Rp231,8 miliar di Sumut bukan hanya perkara hukum, melainkan juga cermin tata kelola pemerintahan. Kedekatan pejabat dengan lingkaran politik membuka ruang persepsi, bahkan sebelum fakta hukum selesai diuji.
Publik kini menunggu: apakah Bobby Nasution sekadar terseret dalam pusaran nama, atau benar-benar berada di jantung perkara. Pertanyaan itu akan terjawab di ruang sidang dan meja penyidik, di mana hukum dan politik kerap bertemu dalam tarikan kepentingan yang rumit.