
Oleh: Tiopan Manuasa Pardede
Sudah saatnya kita bicara jujur tentang banjir Kota Medan, bukan hanya keluhannya, tetapi juga solusi yang kini berada di depan mata. Kita tidak kekurangan kajian, tidak kekurangan rencana, dan tidak kekurangan komitmen dari para ahli. Yang kita kurang adalah eksekusi dan keberanian politik.
Beberapa waktu lalu, Dr. Kuswandi menjelaskan secara komprehensif mengenai Proyek Floodway Sikambing–Belawan, sebuah proyek strategis untuk mengalihkan sebagian debit Sungai Sikambing menuju Sungai Belawan. Secara teknis, floodway ini dirancang untuk mereduksi beban aliran air dari kawasan selatan Medan, sehingga tinggi muka air Sungai Sikambing turun — dan otomatis berdampak pada penurunan permukaan air di Sungai Selayang dan Sungai Putih.
Secara konsep, ini terobosan besar. Ini bukan sekadar proyek fisik; ini implementasi kajian matang tentang sistem pengendalian banjir perkotaan. Namun, apakah masalah selesai hanya dengan floodway tersebut? Tentu tidak.
Masalah Hulu Medan Selatan tak Akan Hilang dengan Sendiri
Area sekitar 900 hektare di Medan bagian selatan — kawasan resapan sekitar Kolam Retensi USU dan Selayang, kini menghadapi realitas baru: run-off yang meningkat akibat penyempitan ruang terbuka dan sistem drainase yang tidak lagi mampu mengikuti laju pembangunan.
Bahkan, kolam retensi yang selama ini dianggap solusi kerap tidak berfungsi optimal, bukan karena tidak punya outlet, tetapi karena inlet belum sempurna menampung debit hujan ekstrem. Air permukaan mengalir tanpa kontrol, melimpas ke permukiman, lalu menuju sungai yang kapasitasnya terbatas. Akibatnya, kawasan seperti Jalan Dr. Mansur dan sekitarnya kembali menjadi langganan banjir.
Prof. Johannes Tarigan juga mengingatkan, banjir di kawasan kampus USU bukan karena kolam retensi tanpa outlet, namun efek backwater dari Sungai Babura. Artinya, persoalan Medan bukan hanya teknis drainase lokal, tetapi juga dinamika sistem sungai antar-kawasan.
Di sinilah urgensi dialog ilmiah. Forum seperti FGD Banjir Medan perlu mempertemukan pandangan para ahli seperti Dr. Kuswandi dan Prof. Johannes, agar publik dan pemangku kebijakan tidak hanya melihat banjir dari satu kacamata sempit.
Ada Dana, Ada Peluang, Tapi Medan Kalah Cepat
Di tengah kompleksitas itu, ada kabar baik: Bank Dunia telah menyiapkan dana untuk pembangunan drainase dan penguatan kapasitas sungai. Kabupaten Deli Serdang bahkan disebut sudah merampungkan pembebasan lahannya. Lalu bagaimana Medan?
Sayangnya, kita tertinggal. Persoalan pembebasan lahan menjadi kambing hitam berulang. Padahal waktu berjalan. Dana loan ini akan kadaluwarsa pada 2027.
Bila kita gagal menyelesaikan prosedur dan aksi lapangan, Medan bukan hanya kehilangan kesempatan , kita kehilangan masa depan pengendalian banjir yang sudah dirancang dan dibiayai.
Jangan Menunggu Banjir Menjadi Identitas Kota, Arah solusinya jelas:
Selesaikan floodway Sikambing–Belawan
Perbesar kapasitas Sungai Selayang
Tambah dan perbaiki jaringan drainase kota
Optimalkan kolam retensi USU dan Selayang dengan manajemen inlet–outlet yang tepat
Tuntaskan pembebasan lahan sekarang
Tidak ada alasan untuk menunda. Bila Medan gagal memanfaatkan dukungan Bank Dunia, itu bukan sekadar kerugian fiskal, itu kegagalan kepemimpinan dan perencanaan kota. Kita, warga Medan yang mencintai kota ini, harus bersuara. Harus mendorong, bahkan mendesak. Jangan sampai kemampuan teknis kita terkubur oleh lambannya birokrasi.
"Anak Medan Cinta Medan" bukan hanya slogan. Ini komitmen moral bahwa kota ini layak bebas dari siklus banjir yang terus berulang. Jangan biarkan peluang emas ini berlalu begitu saja.