MEDAN — Tragedi banjir dan longsor di berbagai wilayah Sumatera Utara bukan hanya soal curah hujan ekstrem. Dari lapangan hingga dokumen resmi, ditemukan indikasi kuat bahwa bencana ini dipicu oleh kelalaian struktural: kewajiban lingkungan yang tidak dipenuhi perusahaan, lemahnya pengawasan pemerintah, dan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) yang tidak pernah dijalankan sebagaimana mestinya.
Seorang tokoh pemerhati lingkungan Sumatera Utara Jaya Arjuna mengungkapkan bahwa, setiap kegiatan berbasis lingkungan wajib membuat laporan ANDAL secara berkala setiap enam bulan.
“Itu kewajiban. Kalau laporan tidak dibuat, jelas salahnya ada pada perusahaan yang tidak menjalankan kewajiban mereka,” ujarnya. Senin 1 Desember 2025.
Namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Hamparan kayu berserakan di area terdampak banjir mengindikasikan kerusakan hutan yang masif dan tidak terkendali.
“Kalau melihat kayu-kayu itu, hampir pasti ada pelanggaran terhadap ANDAL. Ini bentuk kelalaian yang nyata,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menilai bencana ini adalah hasil dari pengawasan pemerintah yang lumpuh. Kasus-kasus kerusakan hutan sebelumnya tidak pernah ditindak tuntas, sehingga pola pelanggaran kembali terulang.
“Dulu-dulu tidak dihukum. Tidak ada efek jera. Makanya terulang lagi. Artinya, pemerintah sebagai pemberi izin sama sekali tidak melakukan pengawasan,” katanya.
Menurutnya, dokumen ANDAL seharusnya memuat seluruh aturan terkait perlindungan hutan, pedoman kerja, pengawasan, hingga langkah perbaikan. Semua sudah lengkap. Tetapi semua itu tidak berjalan.
“Dalam ANDAL itu jelas: apa yang harus dikerjakan, bagaimana pengawasan dilakukan, dan apa yang diperbaiki. Tapi kalau tidak dijalankan, ya sama saja bohong.”
Tuntutan Mengarah ke Pusat Kekuasaan
Dalam konteks bencana meluas ini, ia dengan tegas menyebut Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup harus dimintai pertanggungjawaban.
“Bukan cuma siap dikritik. Kritik itu gampang. Menteri harus siap dipidana kalau terbukti lalai menjalankan kewajiban dalam undang-undang,” tegasnya.
Ia menilai sikap pemerintah pusat yang tidak menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional memiliki kepentingan tertentu.
“Orang Jakarta itu takut. Kalau statusnya naik, banyak kegiatan dan pejabat bisa terseret. Ada kaitan dengan perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di sini.”
Ia juga menyebut adanya dugaan keterlibatan pejabat dalam sejumlah perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan Sumut.
“Setiap perusahaan pasti ada pejabatnya. Makanya perlu dibuka dokumen tujuh perusahaan itu. Punya dokumen ANDAL lengkap atau tidak? Apa yang mereka abaikan?”
Aturan Jelas, Penegakan Lemah
Sesuai Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pejabat atau pelaku usaha yang tidak menjalankan kewajiban lingkungan dapat dipidana.
“Sudah jelas dalam undang-undang. Tidak perlu menunggu lama. Pelanggarannya sudah nyata.”
Karena itu, ia meminta pemerintah pusat, terutama Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, memberikan penjelasan konkret mengenai langkah apa yang telah diambil kementerian terkait untuk mencegah bencana di Sumut.
“Apa yang sudah dilakukan lembaganya? Ada pengawasan atau tidak? Itu dulu yang harus dijawab. Kemudian menggali dokumen-dokumen yang berkaitan dengan aktivitas tujuh perusahaan besar di kawasan hutan Sumatera Utara, termasuk kesesuaian laporan enam bulanan ANDAL, izin pinjam pakai kawasan hutan, serta kewajiban reboisasi."tegasnya
Jaya juga menjelaskan, indikasi awal mengarah pada pola kelalaian yang terstruktur, dari perusahaan yang tidak melaporkan kewajiban lingkungan, pejabat lapangan yang tutup mata, hingga kebijakan pusat yang tidak tegas.
Bencana ini membuka fakta pahit: bahwa kerusakan lingkungan bukan terjadi sehari dua hari, tetapi adalah hasil dari pengawasan yang mandul selama bertahun-tahun.
