MEDAN - Sikap tegas Wali Kota Medan, Rico Tri Putra Bayu Waas, yang tidak memberikan bantuan hukum kepada bawahannya, baik Kepala Dinas Koperasi UKM Perindag berinisial BIN, Kadis Perhubungan berinisial ES, mantan Camat Medan Polonia IAS, Kasi Sarpras IAL, maupun tenaga honorer IRD, merupakan langkah yang patut diapresiasi. Di tengah kompleksitas birokrasi dan tekanan politik, keputusan ini menunjukkan keberanian seorang pemimpin untuk menempatkan integritas di atas loyalitas personal.
Hal ini disampaikan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan dari Fraksi Demokrat Ahmad Afandi Harahap kepada wartawan, menyikapi tidak diberikannya perlindungan hukum terhadap anggotanya yang terlibat melanggar hukum, se usai mengikuti rapat paripurna Penyampaian Laporan Panitia Khusus, Pendapat Fraksi-Fraksi DPRD Kota Medan dan Penandatanganan/ Pengambilan Keputusan DPRD Kota Medan sekaligus Persetujuan Bersama DPRD Kota Medan dengan Kepala Daerah atas Ranperda Kota Medan tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran, Senin 17 November 2025.
Menurutnya, dalam perspektif good governance, keputusan seperti ini tidak hanya mencerminkan keberpihakan kepada penegakan hukum, tetapi juga komitmen terhadap pemerintahan yang bersih, transparan, dan bertanggung jawab. Pemko Medan membutuhkan pemimpin yang tidak ragu membuat keputusan strategis demi menjaga marwah institusi, terutama ketika ada aparatur yang diduga melakukan pelanggaran hukum.
"Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) telah diberikan amanah besar: digaji oleh negara, difasilitasi, dan diberi kepercayaan untuk melayani masyarakat. Maka ketika ada oknum ASN yang justru menyalahgunakan kewenangan, konsekuensinya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pada titik ini, ketegasan seorang kepala daerah menjadi ujian moral kepemimpinannya."ucapnya.
https://www.poskotasumut.id/2025/10/ahmad-afandi-harahap-seleksi-direksi.html
Afandi biasa disapa menjelaskan, Wali Kota Rico Waas tampak memahami hal tersebut. Ia memilih tidak melindungi siapapun yang terlibat dugaan tindak pidana korupsi, bahkan bila mereka bagian dari struktur penting dalam pemerintahannya. Ini adalah sinyal kuat bahwa reformasi birokrasi bukan hanya slogan, tetapi framework kerja yang benar-benar hendak ia jalankan.
"Keputusan untuk tidak memberikan bantuan hukum juga merupakan pembelajaran penting bagi seluruh ASN: bahwa jabatan bukan tameng, dan loyalitas terhadap atasan tidak boleh disalahartikan sebagai jaminan perlindungan hukum. ASN harus bekerja sesuai aturan, bukan berlindung di balik kekuasaan."jelas politikus muda Partai Demokrat.
Ketegasan seorang pemimpin lanjutnya, memang sering kali melahirkan kegelisahan di kalangan internal birokrasi. Namun kegelisahan itu justru sehat. Sebab budaya takut melanggar hukum jauh lebih baik dibanding budaya merasa aman dalam melakukan pelanggaran.
Dalam konteks ini, langkah yang ditempuh Wali Kota Medan merupakan investasi moral dan institusional untuk membangun kepercayaan publik. Kepercayaan itu adalah modal sosial yang sulit dibangun, tetapi sangat mudah runtuh apabila pemerintah justru membiarkan penyimpangan.
"Jika konsistensi seperti ini terus dijaga, bukan tidak mungkin Pemko Medan akan menjadi contoh baik dalam tata kelola pemerintahan daerah: pemerintahan yang menegakkan disiplin, menjaga integritas, dan mendahulukan kepentingan masyarakat di atas kepentingan kelompok atau individu. Pemimpin yang tegas bukan berarti tidak memiliki empati. Justru ketegasan seperti ini menunjukkan empati yang lebih luas: empati terhadap masyarakat yang membutuhkan aparatur yang bersih; empati terhadap institusi yang harus terus dipercaya publik; dan empati terhadap masa depan kota ini yang tidak boleh dirusak oleh segelintir oknum."ungkapnya.
Pada akhirnya, Afandi ingin menegaskan: ketegasan adalah bagian dari kasih sayang terhadap pemerintahan yang ingin diperbaiki. Tanpa ketegasan, integritas hanyalah retorika. Dengan ketegasan, integritas menjadi budaya.
"Dan hari ini, Wali Kota Medan telah menunjukkan langkah ke arah yang benar."terangnya.
